Pikiran Rakyat (PR) pada Kamis, 03 Desember 2009
"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana, untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara."
Begitulah isi dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 1 ayat 1. Yang perlu digarisbawahi di situ adalah tujuan untuk menciptakan peserta didik dengan kekuatan akhlak dan kepribadian, sehingga mampu mengembangkan potensi diri mereka dalam proses belajar dan mengajar.
Pada kenyataannya, berbagai faktor mulai dari kurikulum hingga lingkungan pergaulan membuat tujuan itu seakan sulit dicapai. Alhasil, demi mendapatkan prestasi akademik yang menjadi tolok ukur, segala cara dilakukan dari menyontek hingga jual-beli soal ujian. Kecurangan akademik di kalangan pelajar dan mahasiswa pun, sudah menjadi rahasia umum.
Fenomena ini tertuang secara gamblang pada Cerita Bergambar (cergam) Integritas Akademik, yang diluncurkan Direktorat Pendidikan dan Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) beberapa waktu lalu. Pada cergam itu, diceritakan beberapa bentuk kecurangan akademik yang pernah dilakukan mahasiswa mulai dari pemalsuan data praktikum, titip absen, menyontek, pemalsuan surat sakit, menyalin laporan orang lain, hingga pemalsuan nilai.
Menurut Koordinator tim penyusun cergam Amirah Kaca, cergam itu dibuat berdasarkan pengalaman rekan-rekan sesama mahasiswa, baik di ITB maupun perguruan tinggi lain. "Kecurangan yang digambarkan memang terjadi dan diakui oleh mereka," kata Amirah yang menjabat sebagai Menteri Propaganda dan Informasi Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB ini.
Jika ditanya, hampir semua pelajar dan mahasiswa di negara ini pernah melakukan kecurangan akademik. Namun, hanya sedikit saja yang mau mengakui perbuatan mereka. Salah satu penelitian/survei yang dipaparkan oleh dua mahasiswa ITB Eko Purwono dan Hanson E. Kusuma membuktikan hal ini. Hampir setengah responden penelitian mengaku pernah berbuat curang, sejak masih duduk di bangku SD hingga kuliah. Sementara lebih dari setengah lainnya mengaku bahwa teman mereka berbuat serupa.
Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan 8182 responden yang terdiri dari mahasiswa ITB program Strata 1, yang terdaftar pada semester 1 pada 2009-2010, angkatan 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2009 dari semua program studi di ITB. Hasilnya, 58 persen mengaku pernah melakukan kecurangan saat masih SD, 78 persen pernah curang di SMP, 80 persen di SMA, dan 37 persen ketika kuliah di ITB. Mereke juga mengaku bahwa teman-teman mereka melakukan hal yang sama di SD (85 persen), SMP (92 persen), SMA (91 persen), dan ITB (56 persen).
Dari data tersebut diakui atau tidak, kecenderungan untuk berbuat curang lebih banyak terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal ini terjadi, karena tingkat kejujuran responden berbeda dalam mengisi kuesioner, sistem ulangan/ujian di SMP & SMA lebih memungkinkan untuk kecurangan dan kedewasaan berpikir mengurangi kecenderungan curang saat kuliah.
Terlepas dari besar atau kecilnya jumlah yang diakui, kecurangan akademik sangat mungkin terjadi di kalangan mahasiswa atau pelajar di lembaga pendidikan lainnya. Hal ini jelas menunjukan, betapa tujuan sistem pendidikan nasional belum tersentuh secara utuh. Di lapangan, negeri ini memang masih menjadikan nilai ujian sebagai ukuran keberhasilan pendidikan. Padahal, tujuan utama adalah menghasilkan individu yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Melihat kenyataan yang terjadi, sudah seharusnya pemangku kebijakan di bidang pendidikan negeri ini segera membenahi sistem yang ada, demi tercapainya susbtansi pendidikan nasional. Salah satu usaha yang lebih mendesak ketimbang memperdebatkan sistem penilaian dan penyelenggaraan ujian nasional (UN) dua kali. (Handri Handriansyah/"PR")
Sumber : Pikiran Rakyat |Upaya Menggugat Kecurangan Akademis
"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana, untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara."
Begitulah isi dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 1 ayat 1. Yang perlu digarisbawahi di situ adalah tujuan untuk menciptakan peserta didik dengan kekuatan akhlak dan kepribadian, sehingga mampu mengembangkan potensi diri mereka dalam proses belajar dan mengajar.
Pada kenyataannya, berbagai faktor mulai dari kurikulum hingga lingkungan pergaulan membuat tujuan itu seakan sulit dicapai. Alhasil, demi mendapatkan prestasi akademik yang menjadi tolok ukur, segala cara dilakukan dari menyontek hingga jual-beli soal ujian. Kecurangan akademik di kalangan pelajar dan mahasiswa pun, sudah menjadi rahasia umum.
Fenomena ini tertuang secara gamblang pada Cerita Bergambar (cergam) Integritas Akademik, yang diluncurkan Direktorat Pendidikan dan Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) beberapa waktu lalu. Pada cergam itu, diceritakan beberapa bentuk kecurangan akademik yang pernah dilakukan mahasiswa mulai dari pemalsuan data praktikum, titip absen, menyontek, pemalsuan surat sakit, menyalin laporan orang lain, hingga pemalsuan nilai.
Menurut Koordinator tim penyusun cergam Amirah Kaca, cergam itu dibuat berdasarkan pengalaman rekan-rekan sesama mahasiswa, baik di ITB maupun perguruan tinggi lain. "Kecurangan yang digambarkan memang terjadi dan diakui oleh mereka," kata Amirah yang menjabat sebagai Menteri Propaganda dan Informasi Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB ini.
Jika ditanya, hampir semua pelajar dan mahasiswa di negara ini pernah melakukan kecurangan akademik. Namun, hanya sedikit saja yang mau mengakui perbuatan mereka. Salah satu penelitian/survei yang dipaparkan oleh dua mahasiswa ITB Eko Purwono dan Hanson E. Kusuma membuktikan hal ini. Hampir setengah responden penelitian mengaku pernah berbuat curang, sejak masih duduk di bangku SD hingga kuliah. Sementara lebih dari setengah lainnya mengaku bahwa teman mereka berbuat serupa.
Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan 8182 responden yang terdiri dari mahasiswa ITB program Strata 1, yang terdaftar pada semester 1 pada 2009-2010, angkatan 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2009 dari semua program studi di ITB. Hasilnya, 58 persen mengaku pernah melakukan kecurangan saat masih SD, 78 persen pernah curang di SMP, 80 persen di SMA, dan 37 persen ketika kuliah di ITB. Mereke juga mengaku bahwa teman-teman mereka melakukan hal yang sama di SD (85 persen), SMP (92 persen), SMA (91 persen), dan ITB (56 persen).
Dari data tersebut diakui atau tidak, kecenderungan untuk berbuat curang lebih banyak terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal ini terjadi, karena tingkat kejujuran responden berbeda dalam mengisi kuesioner, sistem ulangan/ujian di SMP & SMA lebih memungkinkan untuk kecurangan dan kedewasaan berpikir mengurangi kecenderungan curang saat kuliah.
Terlepas dari besar atau kecilnya jumlah yang diakui, kecurangan akademik sangat mungkin terjadi di kalangan mahasiswa atau pelajar di lembaga pendidikan lainnya. Hal ini jelas menunjukan, betapa tujuan sistem pendidikan nasional belum tersentuh secara utuh. Di lapangan, negeri ini memang masih menjadikan nilai ujian sebagai ukuran keberhasilan pendidikan. Padahal, tujuan utama adalah menghasilkan individu yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Melihat kenyataan yang terjadi, sudah seharusnya pemangku kebijakan di bidang pendidikan negeri ini segera membenahi sistem yang ada, demi tercapainya susbtansi pendidikan nasional. Salah satu usaha yang lebih mendesak ketimbang memperdebatkan sistem penilaian dan penyelenggaraan ujian nasional (UN) dua kali. (Handri Handriansyah/"PR")
Sumber : Pikiran Rakyat |Upaya Menggugat Kecurangan Akademis
This entry was posted
on 1.27.2010
at Rabu, Januari 27, 2010
and is filed under
Pendidikan
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.