Bahan Pendingin Ramah Lingkungan  

Posted by Ade Kusnadi in

Semakin lama hidup di bumi, segalanya makin kontradiktif. Ketika manusia makin membutuhkan teknologi perangkat elektronik demi kenyamanan hidupnya, ternyata ada dampak yang harus ditanggung dari segi lingkungan. Apalagi kalau bukan dampak pemanasan global yang sekarang ini makin terasa.

Penyejuk ruangan (air conditioner/AC) dan kulkas (lemari es) merupakan dua perangkat elektronik yang berkontribusi terhadap peningkatan pemanasan global. Penggunaan bahan pendingin (refrigerant) adalah salah satu faktor yang berkontribusinya terhadap peningkatan pemanasan global.

Bahan pendingin yang dapat digunakan dalam sistem pendinginan di antaranya kloroflorokarbon (chlorofluorocarbon/CFC), amonia, hidrokarbon (propana, etana, etilena, dan lainnya), karbon dioksida, udara, dan air. Etil eter merupakan bahan pertama yang dikomersialkan sebagai bahan pendingin dalam sistem kompresi uap air di tahun 1850.

Amonia sempat digunakan secara besar-besaran sebagai bahan pendingin meskipun zat ini bersifat racun. Keuntungan menggunakan amonia sebagai bahan pendingin di antaranya mudah didapat, koefisien performa (COP) tinggi sehingga energi yang digunakan dalam perangkat pendingin menjadi rendah, koefisien perpindahan panas yang tinggi sehingga penukar panas berbentuk kecil dan biaya pembuatan juga rendah, serta lebih mudah terdeteksi dalam perangkat pendingin ketika bahan ini bocor.

Kekurangan yang dimiliki amonia adalah bersifat racun sehingga mengakibatkan ketidakcocokan untuk perangkat pendingin yang digunakan di dalam rumah. Amonia lebih sering digunakan dalam fasilitas pendinginan makanan seperti mendinginkan buah-buahan, sayuran, daging, dan ikan, pendinginan produk minuman dan susu, pembekuan es krim, dan penghasil es.

Bahan pendingin lain yang bersifat racun di antaranya belerang dioksida, etil klorida, dan metil klorida. Kemudian penggunaan bahan-bahan ini sebagai bahan pendingin dihentikan setelah mengakibatkan kematian di tahun 1920 karena kebocoran perangkat.

Pada tahun 1928, laboratorium penelitian General Motors berhasil mengembangkan R-12 yang merupakan golongan pertama dalam kelompok bahan pendingin CFC. Dari beberapa bahan pendingin yang telah berhasil dikembangkan, para peneliti akhirnya memutuskan R-12 sebagai bahan pendingin yang paling cocok dan aman digunakan dalam perangkat pendingin bagi masyarakat di rumah-rumah, sekaligus saat itu memberi nama dagang Freon bagi bahan pendingin kelompok CFC.

Pada tahun 1931, produksi komersil R-11 dan R-12 mulai dipasarkan oleh perusahaan patungan bentukan General Motors dan E. I. du Pont de Nemours and Co., Inc.

Bahan pendingin R-11 sering digunakan pada pendingin air berkapasitas besar untuk menjaga sistem pengkondisian udara di gedung-gedung. R-12 sering digunakan sebagai bahan pendingin pada perangkat pendingin rumah, lemari es, dan AC di dalam kendaraan. R-22 digunakan sebagai bahan pendingin pada AC dan sistem pendinginan skala besar di pabrik-pabrik. R-502 (campuran R-115 dan R-22) paling sering digunakan sebagai bahan pendingin pada sistem pendinginan seperti supermarket.

Pada tahun 1970, CFC terbukti dapat meloloskan lebih banyak sinar ultraviolet ke bumi dan berkontribusi pada efek rumah kaca (greenhouse effect) yang menyebabkan pemanasan global. Hal tersebut ditindaklanjuti dengan pelarangan dan penghapusan penggunaan CFC oleh banyak negara.

Saat ini freon yang terkenal ramah lingkungan dalam arti dapat mengurangi perusakan terhadap lapisan ozon adalah jenis R-22. Freon jenis R-22 menjadi standar umum yang harus digunakan oleh berbagai produk berpendingin di Indonesia. Harapan ke depan, pada tahun 2010 seluruh produk elektronik yang menggunakan cairan pendingin telah menggunakan freon jenis R-410A yang lebih ramah lingkungan.***

Hendy Wicaksono, mahasiswa Pendidikan Fisika, Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumber : Pikiran Rakyat | Bahan Pendingin Ramah Lingkungan

Sumber BBM dari Ganggang  

Posted by Ade Kusnadi in


PARA ahli geologi lingkungan AS, yang tergabung dalam Geological Society of American , dalam suatu pertemuan nasional di Alabama mengungkapkan, ledakkan meteor di Siberia bukan satu -satunya penyebab kepunahan dinosaurus di dunia dalam kurun waktu 540 juta tahun yang lalu. Namun ada satu penyebab lain, yang diduga berperan penting dalam kepunahan itu, yaitu sejenis ganggang (algae) yang sekarang sudah punah. Suatu penelitian yang dilakukan oleh para ahli geologi lingkungan AS mengungkapan, ada jejak bahwa racun ganggang tersebut diduga turut andil dalam pemusnahan dinosaurus dan sejenisnya.

Berita ini tentu saja cukup mengejutkan karena tidak akan menyangka tumbuhan yang sangat sederhana itu, bisa memusnahkan semua kehidupan di muka bumi ini. Para geolog AS berani mengungkapkan hal ini setelah melakukan investigasi secara terperinci dan teliti pada fosil tumbuhan sederhana itu selama beberapa tahun terahir, khususnya di daerah Kutub Utara dan Selatan, termasuk di dua belas gurun pasir besar di beberapa benua.

Para geolog itu mengungkapkan, ganggang yang kemudian diketahui bernama Dinoflagellates sp. itu melepaskan sejenis gas neurotoxin ( gas saraf ) yang bisa mambunuh mahluk hidup dalam beberapa jam saja. Pada masa hidup binatang-binatang itu, gangang yang juga hidup di rawa rawa purba pertumbuhannya mencapai angka maksimal. Neurotoxin yang ditiup angin menyebar di seluruh permukaan bumi higga meracuni semua koloni binatang purba tersebut.

John Rogers, ahli toksin lingkungan dari Universitas Clenson AS mengungkapkan, sifat racun yang menyerang syaraf pusat dalam sekejap menyebabkan binatang yang terserang jadi kelimpungan dan tidak lama kemudian mati. Setelah dilakukan penelitian ulang dengan menggunakan peralatan penjejak canggih yang salah satu di antaranya menggunakan CT scan, neurotoxin banyak ditemukan pada fosil-fosil dinosaurus, brontosaurus, dan keluarga binatang purba lainnya.

Dari hasil penelitian mereka diketahui pascaledakan meteor di Siberia, bumi jadi gelap gulita selama beberapa waktu. Saat itu alga diduga tumbuh dengan cepat, padahal matahari tidak bersinar penuh. Pada waktu itulah diperkirakan alga, melepaskan neurotoxin sebagai "waste produknya". Dengan bantuan angin, racun itu tersebar menyelimuti langit dan bumi selama berbulan-bulan penuh.

James Castello, dari Universitas Michigan yang turut meneliti fosil-fosil alga menambahkan, saat bumi gelap gulita iklim bumi berubah drastis jadi dingin. Pada saat itulah, aktivitas kehidupan ganggang dinoflagelates meningkat tajam dan melepaskan racunnya hingga terisap binatang-binatang yang "ngatog" karena cahaya matahari tertutup. Hingga ahirnya habislah riwayat dinosaurus dan binatang purba lainnya di muka bumi.

**

Tidak semua ganggang merugikan kehidupan mahluk bumi. Banyak juga ganggang yang menguntungkan. Dalam bentuk phytoplankton, ia merupakan sumber kehidupan bagi ikan di laut mupun kolam.Dalam bentuk agar-agar, ia juga sebagai bahan makanan berserat kasar tinggi yang kaya gizi dan baik untuk kesehatan. Di pusat pusat laboratorium penelitian, agar-agar digunakan untuk tempat biakan objek penelitian

Bahkan jenis "Current algae", kini tengah diteliti oleh para ahli biotek (bioteknologi) AS untuk dijadikan sumber pengganti BBM, sebagai pengganti sumber energi fosil (premium, avtur, solar, minyak diesel, minyak tanah, dll. ).Penelitiannya sendiri sebenarnya sudah dilakukan hampir lima tahun yang lalu dan sudah mencapai 86%. "Tinggal finishing dan penyempurnaan beberapa kendala, agar bisa menekan biaya produksi hingga tidak memberatkan konsumen," ucap Dr. Yuan ahli biotek dari Kansas State University. Bersama dengan Dr. Zhian, Yuan bekerja untuk kepentingan BBM pengganti tersebut.

Diungkapkan, penelitian penggantian BBM fosil ini pada awalnya merupakan ide mereka, yang diajukan pada pemerintah. Hal yang menarik ini, kemudian mendapatkan tanggapan positif untuk terus dilanjutkan pengembangan penelitiannya. Dengan bantuan dana dari National Science Foundation, penelitian yang awalnya hanya mengeluarkan dana 98.780 dolar AS berlanjut pada tingkat yang lebih serius dan meyakinkan. Alga sumber kehidupan masa depan. Bahannya berlimpah ruah, dan mudah diolah dan ramah lingkungan.

Dibandingkan dengan kedelai, yang menghasilkan 50 galon BBM per satu hektare per tahun, bahan baku ganggang, setelah diolah rata-rata dapat menghasilkan 6.000 galon. Kini para pakar masih harus menekan "cost production", yang masih tinggi yaitu 56 dolar AS/galon. Diperhitungkan, harga ini masih bisa ditekan hingga 5 dolar AS/galon. Dengan demikian, 40% lebih murah bila dibandingkan dengan biaya produksi BBM fosil saat ini. Para pakar memperhitungkan,biaya rendah ini, bisa dituntaskan dalam kurun waktu kurang dari lima tahun mendatang. Bahkan bukan tidak mungkin jika dalam kurun waktu satu dua tahun, sudah bisa dituntaskan.

Pada bulan Agustus 2009, Yuan dan Zhian dibantu rekan rekannya menyosialisasikan hasil penelitiannya di 59 SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum ), dan hasilnya sungguh memuaskan karena tidak ada komplain dari para konsumen. Alga memiliki minyak per hektare 100-300 kali lebih banyak dibandingkan dengan kedelai yang sudah dimasyarakatkan di Amerika.

Penggunaan bahan nabati kedelai, menurut para peneliti, menemukan banyak kendala di antaranya kadar air yang terdapat dalam kedelai yang lebih dari10 persen masih harus ditekan. Dan untuk ini memerlukan biaya tidak sedikit karena akan menambah cost product biaya pengolahan sebesar 1,02 dolar AS per galon. Dan ini akan jadi beban biaya tersendiri untuk jadi satu biaya tetap pada penjualan BBM nabati per galonnya.

sumber : Pikiran Rakyat | AS Teliti Sumber BBM dari Ganggang

Puisi "Aku Pahlawan Kecil"  

Posted by Ade Kusnadi in

AKU pahlawan kecil

Biarpun tubuhku kecil

Namun nyaliku tidak kecil

Aku gagah berani

Pantang mundur

Semangat tak pernah kendur

Bila penjajah datang, aku serang

Bila penjajah menyerang aku bilang,

"Idiih ... beraninya sama anak kecil!!!"

Upaya Menggugat Kecurangan Akademis  

Posted by Ade Kusnadi in

Pikiran Rakyat (PR) pada Kamis, 03 Desember 2009
"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana, untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara."

Begitulah isi dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 1 ayat 1. Yang perlu digarisbawahi di situ adalah tujuan untuk menciptakan peserta didik dengan kekuatan akhlak dan kepribadian, sehingga mampu mengembangkan potensi diri mereka dalam proses belajar dan mengajar.

Pada kenyataannya, berbagai faktor mulai dari kurikulum hingga lingkungan pergaulan membuat tujuan itu seakan sulit dicapai. Alhasil, demi mendapatkan prestasi akademik yang menjadi tolok ukur, segala cara dilakukan dari menyontek hingga jual-beli soal ujian. Kecurangan akademik di kalangan pelajar dan mahasiswa pun, sudah menjadi rahasia umum.

Fenomena ini tertuang secara gamblang pada Cerita Bergambar (cergam) Integritas Akademik, yang diluncurkan Direktorat Pendidikan dan Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) beberapa waktu lalu. Pada cergam itu, diceritakan beberapa bentuk kecurangan akademik yang pernah dilakukan mahasiswa mulai dari pemalsuan data praktikum, titip absen, menyontek, pemalsuan surat sakit, menyalin laporan orang lain, hingga pemalsuan nilai.

Menurut Koordinator tim penyusun cergam Amirah Kaca, cergam itu dibuat berdasarkan pengalaman rekan-rekan sesama mahasiswa, baik di ITB maupun perguruan tinggi lain. "Kecurangan yang digambarkan memang terjadi dan diakui oleh mereka," kata Amirah yang menjabat sebagai Menteri Propaganda dan Informasi Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB ini.

Jika ditanya, hampir semua pelajar dan mahasiswa di negara ini pernah melakukan kecurangan akademik. Namun, hanya sedikit saja yang mau mengakui perbuatan mereka. Salah satu penelitian/survei yang dipaparkan oleh dua mahasiswa ITB Eko Purwono dan Hanson E. Kusuma membuktikan hal ini. Hampir setengah responden penelitian mengaku pernah berbuat curang, sejak masih duduk di bangku SD hingga kuliah. Sementara lebih dari setengah lainnya mengaku bahwa teman mereka berbuat serupa.

Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan 8182 responden yang terdiri dari mahasiswa ITB program Strata 1, yang terdaftar pada semester 1 pada 2009-2010, angkatan 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2009 dari semua program studi di ITB. Hasilnya, 58 persen mengaku pernah melakukan kecurangan saat masih SD, 78 persen pernah curang di SMP, 80 persen di SMA, dan 37 persen ketika kuliah di ITB. Mereke juga mengaku bahwa teman-teman mereka melakukan hal yang sama di SD (85 persen), SMP (92 persen), SMA (91 persen), dan ITB (56 persen).

Dari data tersebut diakui atau tidak, kecenderungan untuk berbuat curang lebih banyak terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal ini terjadi, karena tingkat kejujuran responden berbeda dalam mengisi kuesioner, sistem ulangan/ujian di SMP & SMA lebih memungkinkan untuk kecurangan dan kedewasaan berpikir mengurangi kecenderungan curang saat kuliah.

Terlepas dari besar atau kecilnya jumlah yang diakui, kecurangan akademik sangat mungkin terjadi di kalangan mahasiswa atau pelajar di lembaga pendidikan lainnya. Hal ini jelas menunjukan, betapa tujuan sistem pendidikan nasional belum tersentuh secara utuh. Di lapangan, negeri ini memang masih menjadikan nilai ujian sebagai ukuran keberhasilan pendidikan. Padahal, tujuan utama adalah menghasilkan individu yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Melihat kenyataan yang terjadi, sudah seharusnya pemangku kebijakan di bidang pendidikan negeri ini segera membenahi sistem yang ada, demi tercapainya susbtansi pendidikan nasional. Salah satu usaha yang lebih mendesak ketimbang memperdebatkan sistem penilaian dan penyelenggaraan ujian nasional (UN) dua kali. (Handri Handriansyah/"PR")

Sumber : Pikiran Rakyat |Upaya Menggugat Kecurangan Akademis